Jauh-Dekat, Dekat-Jauh

Masih ingat waktu smartphone Blackberry tiba-tiba jadi fenomena di Ibu Kota (atau di Indonesia juga? Gue nggak tahu pasti)? Ada istilah 'crackberry' yang ditujukan untuk mereka yang terlalu bergantung dengan ponselnya tersebut. Dengan fitur andalan BlackBerry Messenger atau yang biasa disebut BBM (bukan promosi oke, bukan!) memudahkan orang untuk berkomunikasi, nggak peduli beda kota, beda negara, bahkan beda benua, BBM successfully break all those barriers.

Istilahnya, mendekatkan yang jauh.

Namun di sisi lain, tanpa disadari oleh penggunanya (atau mungkin disadari, tapi cuek untuk mengakui), kebiasaan asyik dengan ponselnya sendiri itu juga punya efek samping buruk yaitu menjauhkan (orang-orang) yang (sebenarnya) dekat (dengan mereka).

Kalau mau dilihat secara garis besar di jaman sekarang, hampir semuanya kayak gitu sih. Maksud gue, tiap orang pasti akhirnya akan sibuk dengan ponselnya sendiri, biarpun sudah berkumpul bareng-bareng dalam satu lingkaran atau satu meja misalnya. Nggak bisa disalahin juga, karena itu kan hak tiap orang mau ngelakuin apa, kayak gimana, selama nggak merugikan orang lain.

Nah, sebenarnya gue cuma mau nulis soal jarak.

Iya, jarak.

Saat mendengar kata 'jarak', apa yang terlintas di pikiran lo? Kalau jawabannya masih berputar di antara meter, kilometer, atau angka-angka, berarti pikiran lo matematika banget. Nggak ada yang salah, cuma itu, matematika sekali.

Di awal, gue sempat memberi ilustrasi soal jauh-dekat dan hubungannya dengan teknologi. Dari situ gue ngeliat kalau jarak itu nggak selamanya soal angka. Biarpun lo terpisah sampai berapa-ribu-kilometer dengan orang-orang yang lo sayang (misalnya), kalau memang sama-sama dekat di hati, distance means nothing. Secara fisik mungkin lo memang nggak bisa sering ketemu kayak dulu, tapi kalau sudah sayang, lo pasti akan berusaha gimana pun caranya untuk tetap bisa berhubungan sama orang itu. Komunikasi lewat e-mail, Twitter, messenger, anything. Dengan cara ini, jarak jadi bisa diperpendek dari nominal angka yang sesungguhnya.

Yang jadi ironi adalah, dalam jarak sedekat apapun seperti duduk bersebelahan, orang juga bisa merasa jauh (atau asing) dengan teman yang duduk bersamanya itu. Lucu ya? Perlu jadi perhatian adalah ilustrasi perasaan asing ini nggak berlaku buat interaksi di kendaraan umum. Kalau lo naik sendirian (tanpa teman), otomatis kan nggak ada orang yang lo kenal di dalamnya, kecuali di tengah jalan tiba-tiba sadar ada tetangga lo misalnya, itu beda cerita hahaha. Makanya di kalimat itu gue bilang 'teman', karena hal seperti itu mungkin banget dialami oleh gue, lo, dan kita semua.

Kayak yang Maroon 5 bilang di lagu Nothing Lasts Forever,

"Every day, with every worthless word we get more far away
The distance between us makes it so hard to stay
But nothing lasts forever, but be honest babe
It hurts but it may be the only way."

Lagunya memang bukan buat menggambarkan hubungan pertemanan, tapi pernah nggak lo mikir kalau maksud 'distance' di lagu itu bukan jarak yang jauh dalam arti terpisah ratusan kilometer, tapi lebih ke jarak di hati masing-masing orang yang berhubungan itu? Bisa saja kan orangnya sebelah-sebelahan tapi cuma diam seribu bahasa, sibuk dengan pikiran masing-masing. Gimana menurut lo? :)

Comments

Popular Posts